Selain Memberikan Super Deduction Perpajakan, Menkeu Juga Harus Mendobrak Kelambatan Dirjen Pajak Menindaklanjut IDLP
20 / 08 / 2019 Kategori: Kementerian / Lembaga NegaraJakarta, BK – Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, pemerintah memberikan insentif perpajakan berupa super deduction bagi kegiatan vokasi dan penelitian dan pengembangan (litbang), mini tax holiday untuk investasi di bawah Rp. 500 miliar dan investment allowance untuk industri padat karya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dan juga dalam rangka meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Demikian dikatakan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada acara konferensi pers RAPBN 2020 di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti (CBB), Komplek Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pada Jumat,16 Agustus 2019.
Pada kesempatan tersebut, Menkeu juga menekankan arahan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Keuangan agar melalui kebijakan fiskal terus dilakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara di satu sisi, dan dengan tidak mengganggu iklim investasi di sisi lain.
Kebijakan pemerintah ini khususnya terkait reformasi perpajakan adalah sangat tepat dan harus didukung oleh semua pihak karena akan meningkatkan efisiensi pemerintah. Reformasi yang dilakukan dalam bidang perpajakan telah terbukti mampu menaikkan peringkat Indonesia dari 43 ke peringkat 32 tahun 2019 seperti yang diungkapkan oleh hasil World Competitiveness Index.
Namun selain pemberian kebijakan tersebut, Menkeu juga perlu mendobrak kelambatan Dirjen Pajak dalam menindaklanjut IDLP yang disampaikan oleh masyarakat. Menurut laman media ini, Pemantau Pendapatan dan Kerugian Negara (PPKN), sejak Januari 2019 telah menyampaikan IDLP kepada Ditjen pajak terkait adanya dugaan kerugian pada pendapatan negara setidaknya senilai Rp. 8,4 triliun yang dilakukan oleh 11(sebelas) korporasi.
Salah satu korporasi yang diduga merugikan pendapatan negara sekitar Rp. 2 triliun adalah PT. Saratoga Investama Sedaya Tbk yang sahamnya ditengarai dimiliki secara mayoritas oleh Edwin Soeryadjaya 31,044%, Sandiaga Salahuddin Uno 21,510% dan PT. Unitras Pertama 31,681%.
Berdasarkan informasi yang dihimpun BK, per tanggal 16 Januari 2019 Kejaksaan Agung melalui surat No. B-82/F.2/Fd.1/01/2019 yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan JAM Pidsus menyatakan telah meneruskan kasus tersebut kepada Dirjen Pajak untuk ditindaklanjuti.
Tetapi sampai saat ini belum terlihat tindaklanjut yang signifikan dari Ditjen Pajak. Padahal per tanggal 28 Februari 2019, Direktorat Intelijen Perpajakan melalui surat No. SR-6/PJ.15/2019 kepada PPKN telah menyatakan bahwa IDLP tersebut telah ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Bahkan berdasarkan hasil konfirmasi kepada PT. Saratoga Investama Sedaya Tbk, melalui Kepala Bagian Hukum dan Sekretaris Perusahaan (Sandi Rahaju, SJD) menyatakan bahwa mereka belum atau tidak mengetahui adanya kasus menyangkut perusahaan mereka yang diteruskan oleh Kejaksaan Agung kepada Ditjen Pajak untuk ditindaklanjut.
Dari informasi tersebut dapat diduga bahwa Dirjen Pajak sangat lambat atau mungkin belum melakukan tindakan apapun terhadap wajib pajak bersangkutan. Oleh karena itu Menkeu perlu mendobrak kelambatan atau kebuntuan tersebut, bila perlu pejabat yang tidak kompeten dapat diganti. Ini demi kepentingan negara yang lebih besar, selain itu reputasi negara juga dipertaruhkan dalam kasus ini. Jangan sampai terkesan bahwa negara mandul atau kalah oleh korporasi.
Masalah seperti ini seharusnya dapat segera diselesaikan dan Ditjen pajak tidak perlu ragu menindaklanjut sesuai dengan UU. Ditjen Pajak jangan terkesan membuang-buang energi, di satu sisi berusaha menjangkau potensi pajak yang belum tergali tapi disisi lain membiarkan pajak tidak tertagih. Ini sangat berlawanan dengan logika umum, apalagi dengan logika Presiden R.I. (Tim)