Kelompok Taliban ketika kembali menguasai Afghanistan

Mengetahui Lebih Jauh Tentang Taliban

04 / 09 / 2021 Kategori:

Jakarta, BK – Jika suatu kelompok masyarakat ataupun negara mengalami keterbelakangan, kemiskinan dan kekacauan, maka jawaban satu-satunya untuk memperbaiki adalah pendidikan. Hal ini bertolak belakang dengan pemahaman Taliban ketika berkuasa tahun 1996-2001 yang justru mengharamkan pendidikan dengan menutup dan membakar ribuan sekolah dan perpustakaan di Afghanistan.

Sumanto Al Qurtuby pendiri dan direktur Nusantara Institute bahkan menyebut Taliban adalah bandit berjubah agama karena merujuk pada sejarah reputasi yang sangat buruk dalam menjalankan pemerintahan yang membuat rakyak Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir batin.

Fakta bahwa ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur ke luar Afghanistan sejak Taliban kembali berkuasa, menunjukkan bahwa terdapat trauma yang penuh kebiadaban dan ketidakmanusiawian yang menjadi mimpi buruk dan horor terbayang di depan mata mereka.

Selama rezim Taliban berkuasa, Afghanistan menjelma jadi neraka dunia yang mengerikan. Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa Taliban. Kemiskinan, kelaparan dan malnutrisi merajalela. Kekerasan tidak pernah berhenti, perang sipil antar faksi Islam dan kelompok suku terus berkecamuk. Pembantaian warga terjadi dimana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan agama, tetapi juga terhadap siapa saja yang mereka anggap dan cap sebagai musuh pengganggu kekuasaan.

Rezim Taliban tidak hanya memusnahkan manusia tetapi juga memusnahkan produk spiritual, kebudayaan seperti karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan atau apa saja yang mereka anggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka yakini.

Selama berkuasa rezim Taliban mengunci Afghanistan dari dunia luar, bahkan menolak bantuan makanan dari PBB untuk jutaan warganya yang kelaparan. Mereka melarang aktifitas media yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan. Berbagai aktifitas seni diharamkan, musik, fotografi, lukisan, film, tarian dan sebagainya tidak diperbolehkan.

Kaum perempuan menjadi objek yang paling mengenaskan. Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tidak boleh ke tempat umum sendirian tanpa ditemani keluarga (muhrim), dilarang bekerja di sektor publik dan dilarang bersekolah. Dan masih banyak lagi kisah pilu yang lain yang jika dilanggar maka akan dihukum cambuk di hadapan publik.

Taliban juga menerapkan kebijakan scorched earth yaitu strategi menghancurkan aset apa saja yang dipandang memberikan manfaat pihak lawan. Karena itu ketika Taliban berkuasa mereka banyak memusnahkan kawasan subur serta membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Inilah yang menyebabkan sebahagian negara Timur Tengah mengidentikkan Taliban dengan organisasi teroris

Taliban menerapkan politik totalitarian yang membuat Afghanistan terperosok dan poran-poranda seperti itu sebenarnya karena mereka tidak mengerti dan tidak memiliki pengetahuan, wawasan dan skill untuk memerintah dan mengelola sebuah negara/bangsa. Mereka hanya memiliki nafsu kekuasaan tanpa dasar keahlian untuk menjalankannya. Karena itu untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, mereka meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai peraturan dan hukuman keras atas nama penegakan syariat Islam. Jadi pada dasarnya Taliban adalah “para bandit berjubah agama”.

Tapi anehnya, sejumlah kelompok agama dan elit politik di Indonesia justru kegirangan dengan berhasilnya Taliban kembali berkuasa di Afghanistan sepeninggal tentara Amerika Serikat dan sekutunya dari sana. Bahkan mereka-mereka ini mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Ada apa gerangan di benak mereka…

(Disadur oleh Tim penulis BK dari berbagai sumber, terutama dari tulisan Sumanto Al Qurtuby, Opini Kompas)