
Mekanisme Gugatan Perdata dalam Menyelesaikan Sengketa Lingkungan
04 / 04 / 2022 Kategori: HukumSengketa lingkungan hidup, baik antara masyarakat dengan pemerintah, maupun pemerintah dengan korporasi bidang pemanfaatan hasil tambang atau hutan, kerap menjadi persoalan yang ditemukan dalam masyarakat. Di sisi lain, dari tahun ke tahun, lingkungan hidup juga menjadi isu yang menarik pada beragam diskusi formal maupun nonformal.
Secara umum, ada tiga isu besar yang meliputi isu lingkungan hidup di Indonesia. Pertama, yaitu sengketa terkait perlindungan hukum, umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan SDA untuk pemenuhan kepentingan ekonomi dengan pihak yang berkepentingan/berkewajiban melindungi lingkugan dan SDA. Kedua, berkaitan dengan pemanfaatan SDA, umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa dihalangi aksesnya terhadap sumber daya. Ketiga, sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan, sering kali terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban.
Beragam dan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup inilah yang kemudian berupaya dikupas oleh Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H. dalam buku terbarunya yang berjudul Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata. Dilaksanakan di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/4), momen peluncuran sekaligus bedah buku yang menghadirkan tiga pembedah, yaitu Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M.; Prof. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M. Ph. D.; Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. dan dimoderatori oleh Donal Fariz, S.H., M.H.
Adapun Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Gugatan Perdata terdiri atas lima bab. Bab pertama, membicarakan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan penegakan hukum lingkungan hidup. Bab kedua, mengulas soal hukum lingkungan Indonesia dan program sertifikasi hakim lingkungan. Bab ketiga berisi tentang pengembangan hak gugat dalam penegakan hukum lingkungan. Bab keempat membahas pengembangan hukum pembuktian dan penerapan pertanggungjawaban mutlak dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Bab kelima soal penghitungan ganti kerugian dalam rangka pemulihan lingkungan.
“Jika tidak dikelola dengan baik, sengketa tersebut dapat menimbulkan bencana yang serius bagi masyarakat dan membawa dampak bagi kredibilitas Indonesia di mata dunia. Diperlukan langkah-langkah penegakan hukum lingkungan yang komprehensif dan dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara menyeluruh,” ujar Prim Haryadi.
Dalam sambutannya, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. menjelaskan, buku ini memuat tiga pokok bahasan yang sering kali menyebabkan sejumlah kerumitan dalam penanganan sengketa lingkungan. Pertama, subjek hukum dalam gugatan. Kedua, mekanisme pembuktian. Ketiga, perhitungan ganti kerugian dalam perkara lingkungan. Ditulis langsung oleh seorang hakim yang berpengalaman panjang, buku ini berisi paduan antara dimensi teori dan praktik, sehingga pembaca mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dengan segala pembaruannya dalam praktik pengadilan.
“Selain dapat memberikan wawasan dan pengetahuan tentang seluk-beluk hukum lingkungan, hadirnya buku ini juga dapat menjadi referensi dan tuntunan bagi para praktisi hukum, khususnya para hakim saat menangani perkara lingkungan hidup,” kata Syarifuddin.
Sejumlah Catatan tentang Hukum Lingkungan Hidup
Mengawali sesi bedah buku, Guru Besar Hukum Lingkungan FH UI, Prof. Andri G. Wibisana, S.H., M.H., LL.M. menyampaikan pandangan dan catatannya. Menurutnya, terdapat empat hal besar. Pertama, ia menggarisbawahi perkembangan putusan-putusan di sektor lingkungan hidup dari pengadilan yang ada di Indonesia. Sepaham dengan penulis, Andri beranggapan bahwa salah satu tantangan bagi hakim adalah scientific evidence; yang membutuhkan pendekatan interdisipliner untuk dapat membuktikan pelanggaran atau kerusakan.
Ketiga, ada tantangan pembuktian kausalitas antara perbuatan dan hukum, sebab mungkin saja, dampak buruk kerusakan baru muncul satu tahun atau bertahun-tahun setelah itu. Keempat, menyoal ganti kerugian yang akan masuk ke keuangan (kas negara); tetapi tidak terjadi pemulihan atau intervensi langsung terhadap kerugian yang sudah ditimbulkan.
Sementara itu, Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M. menyoroti empat pendekatan: normatif, doktrinal, komparatif, dan case. Ia juga menekankan pada pentingnya metode penghitungan actual loss dan potential loss.
“Buku ini mengajak kita untuk memahami secara komprehensif, bagaimana perjuangan dalam proses pemulihan lingkungan hidup dilakukan dalam teori dan praktik di peradilan, serta sejauh mana hakim di Indonesia dapat berperan dalam proses tersebut melalui putusan yang dijatuhkannya,” kata Takdir Rahmadi.
Adapun sebagai pembedah terakhir, Pendiri/Direktur Eksekutif Pertama Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Pendiri dan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sekaligus pengajar hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Prim haryadi. Menurutnya, buku ini merupakan salah satu karya terbaik dalam sektor hukum lingkungan hidup.
“Isu-isu hukum seperti hak gugat, hukum pembuktian dalam penerapan strict liability, dan penghitungan ganti kerugian dalam pemulihan lingkungan ditulis secara detail dan komprehensif. Substansinya padat dengan analisis implementasi dan penegakan hukum,” Achmad Santosa menambahkan. (Sumber : hukumonline_ Tim Publikasi Hukumonline)