Gubernur DKI Jakarta Harus Perhatikan Kinerja Jakpro

11 / 03 / 2018 Kategori:
Jakarta, BK – PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta diketahui banyak menguasai aset strategis yang jika dikelola dengan baik akan dapat memberikan pemasukan yang besar bagi Daerah Khusus Ibukota. Kebanyakan dari aset tersebut berupa tanah dan bangunan yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Model kerjasama yang banyak dilakukan adalah Persewaan dan Pola Bangun Serah Terima.
Untuk menangani kerjasama-kerjasama tersebut, PT. Jakpro memiliki jaringan usaha yaitu :
  1. PT. Pulo Mas Jaya
  2. PT Jakarta Konsultindo
  3. PT Jakarta Manajemen Estatindo
  4. PT Jakarta Komunikasi
  5. PT Jakarta Marga Jaya
  6. PT Jakarta Akses Tol Priok

Sebut saja misalnya PT. Pulo Mas Jaya telah melakukan beberapa kerjasama dengan pihak ketiga, yang antara lain:

  • PT. Korea World Center Indonesia untuk mengelola dan pemeliharaan kawasan Pembangunan Terpadu Pacuan Kuda Pulo Mas, Jakarta Timur, seluas kurang lebih 31.000m2,
  • PT. Indomarina Square untuk membangun dan mengelola proyek Pulo Mas Center beserta fasilitas penunjang seluas kurang lebih 46,815 m2
  • PT. Paramitha Bangun Cipta Sarana untuk membangun, mengelola dan menembangkan Sarana Kegiatan Olahraga Berkuda dan Fasilitas Rekreasi di kawasan terpadu Pacuan Kuda Pulo Mas seluas 337.900 m2,
  • PT. Indo Galery Square untuk untuk membangun, mengelola proyek Pulo Mas Residence seluas 65.900 m2,
  • PT. Mega Sentral Mandiri untuk pembangunan dan pengembangan Pulo Mas Golft Parkview Apartement seluas kurang lebih 19.800 m2,
  • PT. Bumi Mandiri Wijaya untuk membangun dan mengelola Sevila School dengan luas tanak sekitar 20.000m2,
  • PT. Ayuba utama untuk penyewaan dan pengelolaan Rumah Sakit Amira seluas 10.000 m2 dan banyak kerjasama sejenis lainnya.
Bentuk kerjasama lain yang telah dilakukan adalah Pola Bangun Kelola Serah tanah di Pluit Indah Permai dengan luas 70.000m2 yang dikerjasamakan dengan PT. Duta Wisata Loka. Berdasarkan SK Gubernur Nomor: 700 Tahun 1995 tanggal 31 Desember 1995, PT. Duta Wisata Loka sebagai investor menyediakan dana dan membangun pusat pertokoan Mega Mall Pluit dan berhak memperoleh pendapatan dari pengelolaan lahan tersebut. Atas penyediaan lahan tersebut, PT. Jakpro berhak menerima pembayaran berkala setiap tahun selama 30 tahun senilai  Rp. 20.000.000.000. Setelah masa kerjasama berakhir, PT. Duta Wisata Loka berkewajiban mengembalikan seluruh properti bangunan yang terletak di atas lahan yang dikerjasamakan kepada PT. Jakpro.
Selain kerjasama tanah 7 Ha ini, PT. Jakpro juga melakukan kerjasama serupa atas tanah di Pluit Indah Permai seluas 58.044 m2 dengan PT. Duta Tama Manunggal. Dengan dasar perjanjian ini PT. Duta Tama Manunggal menyediakan dana dan membangun perkantoran, restoran dan retail pada lahan tersebut. Atas penyediaan lahan ini PT. Jakpro berhak menerima pembayaran senilai Rp. 45.059.000.000. Dan setelah akhir masa kerja sama, PT. Duta Tama Manunggal berkewajiban menyerahkan seluruh properti bangunan yang terletak di atas lahan kepada PT. Jakpro.
Masih banyak kerjasama lainnya yang dilakukan oleh PT. Jakpro menyangkut lahan dengan pihak ketiga. Karena itu Gubernur DKI Jakarta Jokowi perlu membentuk tim khusus untuk melakukan inventarisasi dan penilaian terhadap aset-aset tersebut, sebab bukan tidak mungkin bahwa aset-aset yang dikerjasamakan tersebut hanya memberikan keuntungan yang tidak sepadan. Kalau investasi yang dilakukan oleh PT. Jakpro sekitar Rp. 100 miliar saja bisa hilang, tanah yang dikerjasamakan juga lama-lama bisa berpindah kepemilikan alias hilang.

INVESTASI

Terkait dengan investasi senilai Rp. 100 miliar yang dilakukan PT. Jakpro dengan 3(tiga) perusahaan swasta yang diduga menimbulkan kerugian keuangan daerah, Gubernur DKI Jakarta harusnya memberikan penjelasan kepada masyarakat, apakah kasus tersebut akan dilimpahkan ke penegak hukum atau ada jalan keluar lain yang diambil.
Seperti diketahui PT. Jakpro pernah membuat beberapa kontrak investasi. Dua diantara kontrak investasi tersebut dilakukan dengan PT. Optima Kharya Capital Management dengan target pengembalian sebesar 13,25 % per tahun.
Kontrak pertama senilai Rp. 40 milyar dibuat tanggal 17 Oktober 2008 dengan No. Kontrak 1407/DF/KPD/OKCM/VII/08. Kontrak kedua senilai Rp. 10 milyar dibuat tanggal 30 Oktober 2008 dengan No. Kontrak 1447/DF/KPD/OKCM/VII/08. Namun sampai pada tanggal berakhirnya kedua kontrak ini, PT. Optima Kharya Capital Management tidak mengembalikan dana investasi tersebut kepada PT. Jakpro.
Selain investasi pada PT. Optima Kharya Capital Management, PT. Jakpro juga diketahui gagal melaksanakan pencairan aset investasi atau mengembalikan dana dari PT. Sarijaya Permana Sekuritas senilai pokok Rp. 25 milyar. Padahal seharusnya PT. Jakpro harus menerima imbalan investasi sebesar Rp. 1,6 milyar dan  bunga tambahan sebesar 6% per tahun. Pada kasus ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2010 telah memenangkan gugatan PT. Jakpro dengan putusan penyitaan atas saham KARK milik PT. Sarijaya Permana.
Kasus investasi lainnya adalah, kehilangan investasi pokok senilai Rp. 25 milyar atas ketidakmampuan PT. Harvestindo Asset Management memenuhi kewajibannya kepada PT. Jakpro.

Dugaan kerugian negara/daerah dari penempatan dana investasi dari ketiga perusahaan tersebut, diperkirakan senilai Rp. 108,5 miliar, termasuk bunga yang tidak dibayarkan. Apakah kasus-kasus tersebut bernuansa korupsi? Harusnya KPK atau Kejaksaan dapat menelusurinya.

Sebenarnya dengan kasus yang sama, mantan direktur utama PT. Kereta Api Indonesia Ronny Wahyudi telah didakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung (21/5/12). Kasus tersebut juga menyeret mantan direktur keuangannya Achmad Kuntjoro. Kasus ini bermula dari penginvestasian dana PT. Kereta Api Indonesia senilai Rp. 100 milyar dengan manajer investasi PT. Optima Kharya Capital Management pada Juni 2008. Dana tersebut tidak bertambah, malah berkurang menjadi Rp. 89,3 miliar. PT. Optima Kharya Capital Management memberikan alasan bahwa kondisi perekonomian global yang sedang memburuk menjadi penyebabnya. Namun yang menjadi masalah adalah, dirut PT. Kereta Api Indonesia tidak meminta jaminan atas investasi tersebut.
Jika mantan dirut PT. Kereta Api Indonesia telah didakwa atas ketidakhati-hatiannya menginvestasikan dana, mengapa hal yang sama tidak berlaku pada PT. Jakpro. Padahal perusahaan tempat investasi PT. Jakpro dan PT. Kereta Api Indonesia adalah sama yaitu PT. Optima Kharya Capital Management. Harusnya pihak Kejaksaan sudah dapat melakukan penyelidikan. Ataukah Gubernur DKI tidak peduli dengan hal ini sehingga tidak didorong untuk dituntaskan?