Fenomena Selamat Sukses/Gagal Di Kab Humbang Hasundutan
10 / 09 / 2021 Kategori: Pemerintah DaerahJakarta, BK – Ada fenomena terjadi di Kab Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Dikatakan fenomena karena tidak lazim atau di luar kebiasaan umum. Fenomena itu adalah adanya ucapan dan karangan bunga dari publik terhadap kinerja bupati yang ditengarai gagal memimpin daerahnya. Yang lazim terjadi adalah ucapan selamat sukses atas suatu prestasi yang membanggakan. Namun yang terjadi justru ucapan sindiran dari warga kepada bupatinya atas kegagalan.
Merujuk pada konstelasi pilkada yang lalu dimana sang kepala daerah berhadapan dengan kotak kosong maka sesungguhnya yang terpilih jauh dari yang sering dikatakan sebagai putra terbaik. Adalah sangat tidak elegan jika lebel putra terbaik ternyata tidak dapat menjalin komunikasi dengan DPRDnya selama 5(lima) tahun berturut-turut sehingga tidak pernah ada P-APBD (Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dari sisi keuangan/pendapatan hal ini tentu sangat memperihatinkan, misalnya dinas pendapatan/pajak daerah setempat hanya bekerja monoton tanpa terget selama periode tersebut.
Ilusi Kedaulatan Rakyat
Dalam demokrasi dimanifestasikan bahwa rakyatlah yang berkuasa. Namun sejatinya ketika rakyat sudah selesai menitipkan kedaulatannya dalam bilik suara, maka sejak saat itu rakyat tidak memiliki kuasa apa-apa lagi. Inilah yang disebut dengan ilusi kedaulatan rakyat. Sejak Anda meninggalkan bilik suara, maka sosok yang ada dalam kertas suara dan krunya yang tidak kelihatan dalam kertas suara, itulah yang mengambil alih kedaulatan dan kekuasaan atas Anda.
Berdasarkan riset yang dilakukan (Opini Kompas 3 Okt 2020), 80% pemilih tidak mengetahui informasi yang memadai tentang kandidat yang dipilih. Mereka tidak tahu tentang pendidikan, kapasitas dan kapabilitas kandidat. Ketidaktahuan inilah yang diisi oleh kerja media dan komunikasi politik dalam membangun pencitraan kandidat yang sarat manipulasi psikologis yang bahkan dapat memenangkan seorang kandidat yang cacat moral sekalipun.
Dalam pemilihan langsung, asas permusyawaratan perwakilan telah digantikan dengan cara-cara pertarungan menang/kalah, mesin politik, pencitraan, politik uang dan oligarki, dan di dalam internal partai sendiri pun telah terjadi ajang sikut-menyikut sesama kader demi hasrat kekuasaan. Jargon moral dan agama yang dibawa-bawa dalam kampanye sejatinya hanya berfungsi sebagai asesoris politik dan tidak pernah nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pertarungan yang menempuh cara-cara yang tidak etis dalam pilkada, menghasilkan pemimpin karbitan yang jauh dari tujuan demokrasi yang sesungguhnya. Pemenang bukanlah putra terbaik, tetapi lebih cenderung sebagai orang yang prakmatis yang target sesungguhnya bukan membawa kesejahteraan pada daerah yang dipimpinnya. Hal tersebut dapat dengan jelas terlihat dari tidak sebandingnya input-output dari sisi anggaran.
Ha ini tampak nyata dengan timbulnya komunitas-komunitas dengan nilai moral yang salah yang penting menang dan dirayakan. Di sisi lain, mereka yang melakukan cara yang benar justru sering kalah.
Kehidupan sosial politik yang kian keras, vulgar, bengis, sangar, kriminal dan korup dimana demokrasi kian jauh dari memuaskan, partai-partai politik tidak bermutu, DPRD dan DPR dipandang sebagai rawan korupsi, telah menjerat yang katanya para putra terbaik 21 gubernur dan 122 bupati/walikota dalam kasus korupsi, (data KPK terjadi sejak 2004 hingga Juli 2020).
Selamat Sukses/Gagal yang lagi tren di kabupatan Humbang Hasundutan ini adalah bahagian dari ilusi kedaulatan rakyat yang hanya dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. (penulis : Holmes BJH, SE, SH, Praktisi Hukum dan pendiri Pemantau Pendapatan dan Kerugian Negara)