Presiden dan Ibu Negara menikmati kopi di Geosite Sipinsur, Kawasan Danau Toba, Kab. Humbang Hasundutan

Budaya Melayani Di Kawasan Pariwisata Danau Toba

31 / 07 / 2019 Kategori:

Jakarta, BK – Modal utama Danau Toba sebagai destinasi wisata berkelas sudah dimiliki. Keindahan alam yang sangat memukai dari setiap sudut pandang tepian danau dan puncak pegunungan Bukit Barisan yang mengitarinya adalah modal utama. Sejarah letusan gunung Toba sekitar 72.000 tahun yang lalu yang dinyatakan telah merubah dunia karena memusnahkan 2/3 penghuni bumi menjadi modal tambahan yang tidak kalah nilai jualnya.

Jika kedua modal utama itu dikemas dengan bungkusan nilai budaya setempat tentu akan menjadikan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata yang sulit ditandingi. Sangat beralasan jika pemerintah pusat menganggarkan Rp. 3,5 triliun dana untuk membangun infrastruktur kawasan ini.

Dalam kunjungan kerjanya ke kawasan Danau Toba (29/7), presiden Joko Widodo meminta percepatan pembangunan Kawasan Danau Toba yang terintegrasi, mulai dari pariwisata, infrastruktur, sumber daya manusia dan lingkungan hidup.

Infrastruktur yang baik tentu sangat memegang peranan penting dalam meningkatkan suatu destinasi pariwisata. Namun persoalan lain yaitu masalah sumber daya manusia seperti yang ditekankan oleh Presiden tidak kalah pentingnya. Akan percuma infrastruktur yang terbangun dengan baik jika sumber daya manusia yang menjalankannya tidak mumpuni dalam bidang pelayanan kepariwisataan.

Khususnya di kawasan Wisata Danau Toba, budaya melayani dirasakan masih sangat kurang. Hal ini tentu berkaitan dengan budaya setempat yang mempunyai slogan “sude do anak ni raja” semua anak raja. Pengalaman BK seminggu menginap dan bersosialisasi dengan masyarakat setempat menemukan ada perbedaan yang mencolok dalam hal melayani dengan kawasan wisata lain di Indonesia.

Di kawasan Wisata Danau Toba masih ditemukan ketidakramahan dalam pelayanan, aji mumpung dalam pemberian harga barang, bahkan untuk urusan parkir sekalipun tidak ada standard harga. Di Parapat misalnya BK dikenakan tarif parkir di pinggir jalan Rp. 25 ribu. Hal seperti ini akan merusak citra pariwisata Danau Toba. Keseriusan pemerintah membangun infrastruktur sebaiknya sejalan dengan pembangunan budaya pariwisata kepada masyarakat sekitar. Jika tidak maka infrastruktur yang dibangun dengan biaya yang besar tidak akan berdampak signifikan bagi Pariwisata Danau Toba.

Masyarakat sekitar Danau Toba tentu ingat bahwa dulu almarhum TD Pardede pernah serius ingin meningkatkan kemajuan pariwisata di Danau Toba khususnya di Parapat. Bahkan pengusaha yang pernah menjadi menteri Berdikari pada jaman Orde Lama tersebut pernah membangun lapangan golf lengkap dengan infrastrukturnya. Namun tidak berkembang seperti yang beliau harapkan. Karena itu semua pemangku kepentingan pariwisata di kawasan Danau Toba perlu melakukan terobosan yang berbeda, terutama membenahi dari sisi sumber daya manusianya. (Tim)