UU Perpajakan Perlu Direvisi Agar Publik Dapat Mengawasi Pendapatan Negara

26 / 03 / 2023 Kategori: , , ,

Jakarta, BK – Mencuatnya gaya hidup mewah pejabat yang diperbincangkan masyarakat di media sosial akhir-akhir ini memperlihatkan ekspresi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga formal. Sejumlah penyelenggara negara ramai diperbincangkan diantaranya Rafael Alun Trisambodo mantan pejabat eselon 3 Ditjen Pajak, Esha Rahmansa Abrar kepala Subbagian Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara, Direktur Penyelidikan KPK Brigjen Pol Endar Priantoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra, Kepala Bea dan Cukai Makasar Andhi Pramono, Kepala Kantor Bea dan Cukai Eko Darmanto dan tentu banyak lagi yang lainnya.

Media sosial telah menjadi media yang efektif untuk menyalurkan suara yang tidak tersalurkan melalui institusi formal. Hal ini tentunya menjadi praktif yang baik bagi demokrasi walaupun tidak sepenuhnya dapat menggantikan seluruh sistem pengaduan masyarakat yang ada di lembaga formal.

Dalam lembaga formal misalnya UU tentang perpajakan tidak mewadahi publik untuk mengawasi, mengontrol ataupun menggugat pemerintah (Ditjen Pajak) terkait pendapatan negara dari sisi perpajakan. Padahal masalah pendapatan negara sangat penting dibandingkan dengan masalah perlindungan konsumen ataupun masalah lingkungan hidup yang sudah mewadahi masyarakat melakukan gugatan (hak gugat organisasi).

Hak gugat organisasi terhadap pendapatan negara sangat erat kaitannya dengan harta kekayaan penyelenggara negara di lingkungan Ditjen Pajak. Dapat dibayangkan apabila terjadi suatu keadaan dimana kedua pihak (Ditjen Pajak dan Wajib Pajak) lalai/luput atau sengaja bekerjasama sehingga terjadi kerugian pada pendapatan negara, maka belum ada pihak yang ditunjuk oleh Undang-Undang berwenang melakukan tindakan pemeriksaan ataupun gugatan. Dapat dipastikan jika WP dan oknum aparat pajak bekerjasama mengatur jumlah pajak yang dibayar, tentu akan mulus 100 persen tanpa kendala apapun.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang ada saat ini belum diatur secara khusus tentang gugatan dari Masyarakat (hak gugat organisai) terkait pendapatan negara sebagaimana gugatan tentang lingkungan hidup dan tentang perlindungan konsumen yang sudah diatur dengan UU No. 32 tahun 2009 dan UU No. 8 Tahun 1999.

UU Perpajakan yang ada saat ini hanya mewadahi Wajib Pajak/Penangung Pajak menggugat Ditjen Pajak ke Pengadilan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang yang isinya tidak disetujui oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

Oleh karena itu masih terdapat terdapat kekosongan hukum yang harus diisi dengan melakukan revisi terhadap UU perpajakan. Hal ini harus disejalankan dengan pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Dalam keadaan Ditjen Pajak diduga lalai atau sengaja menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tentu Ditjen Pajak tidak mungkin menjadi hakim bagi dirinya sendiri (asas nemo judex idoneus in properia causa / bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri). Karena itu diperlukan pihak lain yang dapat mengungkapnya sebagaimana Walhi untuk kepentingan lingkungan hidup dan YLKI untuk kepentingan konsumen.

Oleh karena itu maka revisi terhadap UU perpajakan ini mendesak untuk dilakukan. Poin utama yang harus dimasukkan dalam revisi adalah adanya hak gugat organisasi/masyarakat terhadap pendapatan negara. Dengan demikian maka bukan hanya Wajib Pajak yang dapat menggugat Ditjen Pajak, tetapi masyarakat/organisasi juga harus dapat menggugat secara bertanggung jawab. Pajak adalah hak negara yang di dalamya terdapat hak ekonomi dan hak sosialnya masyarakat, sehingga sudah seharusnya masyarakat dapat menggugat haknya sebagaimana dalam negara demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemerintah dan DPR harus berinisiatif untuk melakukan revisi UU perpajakan ini. Tidak mungkin selamanya Ditjen Pajak dibiarkan menjadi lembaga yang tanpa kontrol terhadap nilai-nilai Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan kepada Wajib Pajak. (Holmes BJH. SE. SH. / praktisi hukum)