PT. Pupuk Indonesia (Persero) Wajib Pajak Patuh
19 / 04 / 2023 Kategori: DKI Jakarta, Hukum, Kementerian / Lembaga Negara, PresidenJakarta, BK – PT. Pupuk Indonesia (Persero) adalah perusahaan negara yang bertugas memegang amanat untuk memenuhi ketersediaan pupuk di wilayah Republik Indonesia. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Holding Sektor Pupuk, PT. Pupuk Indonesia (Persero) bersama seluruh entitas anak yang tergabung di dalamnya berupaya memenuhi tugas tersebut dengan sekaligus memberikan nilai tambah bagi Pemerintah Indonesia selaku pemegang saham dalam pengelolaan bisnis di sektor industri pupuk.
Dalam melakukan pengelolaan perusahaan, PT. Pupuk Indonesia (Persero) senantiasa fokus pada indikator Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, harga komoditas serta harga Urea, NPK, dan Amoniak, serta bahan baku produksi.
Dari sisi perpajakan sejak tahun 2019 PT. Pupuk Indonesia (Persero) memperoleh status Wajib Pajak Patuh dan dilakukan pemeriksaan Pajak All Taxes secara rutin oleh Ditjen Pajak. Hal itu disampaikan oleh Fekky Putra Palma selaku VP Komunikasi Eksternal PT. Pupuk Indonesia (Persero) menjawab konfirmasi BK terkait adanya dugaan kerugian pendapatan negara senilai Rp. 4,5 triliun.
Redaksi BK mengkonfirmasi apakah pada periode tahun 2017 s/d 2021 terdapat dugaan kerugian pada pendapatan negera senilai Rp. 4,5 triliun? Diketahui PT. Pupuk Indonesia (Persero) pada periode tersebut membukukan laba sebelum pajak penghasilan badan (PPh Badan) Rp. 27,639,785,000,000, membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) Rp. 7,194,228,000,000 dan menerima Restitusi/pengembalian pajak Rp. 5,149,676,000,000.
Dalam penjelasannya secara tertulis, Putra Palma menegaskan bahwa Laporan Keuangan PT. Pupuk Indonesia tahun 2017-2022 telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (Opini Tanpa Modifikasian), dimana opini tersebut telah mencakup pula nilai kewajiban pajak yang harus ditunaikan pada setiap tanggal-tanggal perseroan dimaksud.
Lebih jauh Palma menjelaskan, dalam menghitung PPh Badan, perusahaan harus mengacu kepada ketentuan/peraturan perpajakan yang berlaku, dimana tidak dapat dilakukan secara langsung mengalikan Laba Sebelum Pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Namun, diperlukan perhitungan rekonsiliasi fiskal dengan melakukan koreksi fiskal untuk memilah biaya-biaya mana saja yang bersifat Deductible Expense (DE) (dapat dibiayakan secara fiskal), Penghasilan bersifat final, dan penghasilan yang bukan objek pajak sehingga perusahaan dapat mengetahui berapa Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income) di akhir periode akuntansi untuk 1(satu) tahun fiskal dan apa status kewajiban pajak badan untuk tahun fiskal tersebut apakah terdapat PPh Pasal 28 (Lebih Bayar Pajak) atau PPh Pasal 29 (Kurang Bayar Pajak).
Atas penjelasan tersebut praktisi hukum pajak yang juga kuasa hukum Pemantau Pendapatan dan Kerugian Negara (PPKN) Holmes BJH, SE, SH mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan komentar ekonom Faisal Basri yang pernah mengatakan bahwa masalah pajak itu hanya Wajib Pajak, Kantor Pajak dan Tuhan yang tahu. Artinya jika Wajib Pajak dan Kantor Pajak lalai/sengaja sehingga terjadi kerugian pendapatan negara maka pihak ketiga yang tahu hanya Tuhan. Menurut pengalamannya dalam membela kliennya di Pengadilan terkait gugatan Pajak, Holmes mengatakan bahwa para Wajib Pajak sering berlindung di bawah koreksi fiskal ini. Karena hanya mereka (Wajib Pajak dan Kantor Pajak) yang tahu berapa nilai koreksinya, jelasnya.
Namun mengacu pada definisi kata koreksi, tentu koreksi itu persentasenya pasti lebih kecil dari nilai pokoknya. Namun yang sering terjadi justru nilai koreksi fiskal ini membengkak menjadi porsi yang lebih besar, tegasnya. (EM/BL)